Dongeng Negeri Lampu Merah


Oleh Toni Lesmana

Siang yang terik. Dalam bis yang sesak, kemacetan hampir membuatku serasa meledak. Tak tahan. Aku segera meloloskan diri dari himpitan penumpang yang lainnya. Dan meloncat ke trotoar. Serasa bebas sekalipun panas matahari langsung menyambutku. Tak jadi soal. Ini lebih baik daripada matang dalam bis. Kemacetan seperti misteri yang tak pernah bisa dipastikan akhirnya. Apalagi ini akhir pekan. Lebih baik jalan kaki. Berjalan akan lebih cepat sampai di tujuan, pusat pertokoan, mencari oleh-oleh untuk anakku.

Kota ini seperti hendak terbakar. Jalanan dipadati kendaraan yang diam tak dapat bergerak. Suara knalpot dan klakson. Aku menutupi kepala dengan koran yang tadi kubeli dalam bis agar panas tak terlalu menyengat ubun-ubun. Menyusuri trotoar sambil sesekali melirik orang-orang dalam mobil yang gelisah dan marah. Sementara gedung-gedung yang berlomba menjulang perlahan seperti bara-bara raksasa. Aku pikir kemarau telah mencapai puncak. Berpesta di kota ini.

Perempatan. Empat arah jalan sama-sama mengerami kemacetan. Lampu lalu lintas. Merah. Kuning. Hijau. Tak ada gunanya. Toh lalu lintas mati. Aku disambut suara-suara yang seperti berlomba. Teriakan tukang koran dan tukang asong, nyanyian para pengamen, musik nyaring topeng monyet. Aku tertarik untuk berteduh di bawah sebuah papan iklan. Istirahat sambil memperhatikan riuhnya dunia. Tiba-tiba beberapa anak kecil nampak terhuyung-huyung memikul pikulan. Mereka menjajakan isi pikulan ke setiap mobil. Anak-anak yang begitu mungil tenggelam dalam pikulan masing-masing. Aku ingat mereka adalah penjual cobek batu. Cobek batu itulah yang memberat dalam pikulan mereka. Mereka menyebar dan bertebaran di empat arah jalan perempatan. Mereka tak riuh ataupun gaduh seperti yang lain. Mereka hanya berjalan dari satu mobil ke mobil yang lain, kadang berjalan ke arah pengendara motor. Memperlihatkan isi pikulan. Mereka tak pernah berteriak. Entah karena letih.

Anak-anak yang mungil. Barangkali usianya tak lebih dari sepuluh tahun. Tiba-tiba mataku juga menangkap beberapa sosok pengamen yang ternyata juga bocah-bocah seusia dengan anak penjual cobek batu. Kenapa tak pernah memperhatikan ini semua. Penasaran. Kukelilingkan pandangan. Bahkan mengintip di antara celah-celah dimana kudengar suara-suara. Tukang koran dan tukang asong, ternyata anak-anak juga. Semua penghuni perempatan ini adalah anak-anak. Anak-anak seusia dengan anakku.

Mereka berpanas-panasan. Memanggang diri sendiri pada matahari. Sedang asyik-asyiknya mengamati. Salah satu anak penjual cobek batu berjalan ke arahku. Menurunkan pikulan lantas duduk begitu saja di sampingku. Peluhnya nampak mengucur, mengangkut debu di wajahnya. Rambutnya telah lengket oleh keringat. Sedikit ingus di hidungnya. Bibirnya mengering.

“Laku?” tanyaku sambil melirik ke pikulan.

Anak itu hanya tersenyum. Lantas melambaikan tangan ke arah teman-temannya. Serentak, seluruh anak yang bertebaran di jalan, kini berjalan ke arahku. Semuanya. Para penjual cobek batu, pengamen, tukang koran dan tukang asong. Juga topeng monyet.

Anak itu kembali tersenyum. Sebentar saja tempatku berteduh jadi ramai. Bahkan menjadi perhatian para pengendara mobil dan motor. Aku seperti pemimpin bagi mereka yang masih bocah-bocah. Kulirik anak kecil yang tadi tak menjawab pertanyaanku. Ia nampak asik bercakap dengan yang lainnya. Para pengamen bernyanyi bersamaan. Tukang koran dan tukang asong menghitung barang dagangan. Sementara monyet asyik melahap makanan yang dilempar bocah pengasuhnya.

Dalam jarak sedekat ini nampaklah mereka benar-benar bocah. Kuperkirakan usia mereka belumlah mencapai sepuluh tahun. Ini waktunya sekolah atau bermain dalam rumah.

“Kami tak sama dengan anak-anak dalam pikiranmu, Bang.” Anak yang tadi itu tiba-tiba melempar kerikil ke arahku dan tertawa renyah. Aku terkejut hampir terjengkang. Kontak derai tawa teman-temannya membahana.

Hey! Bagaimana ia bisa membaca pikiranku. Aku mengerutkan kening dan menatap matanya lekat-lekat. Mata yang bening sekalipun wajahnya penuh debu.

“Lapar mengasah kami.” Lagi-lagi ia berbicara dengan mantap. Ini bukan bahasa anak-anak.

“Kami anak-anak, Bang. Anak-anak lampu merah!” tambahnya lebih tegas.

“Hidup lampu merah!” teriak yang lain hampir serempak.

Aku seperti terkepung. Mereka tak seperti yang kubayangkan. Binar mata mereka, suara mereka tak selusuh tubuh mereka. Lagu mereka begitu bersemangat. Ini lagu yang baru kudengar sepanjang hidupku. Ada darah mengalir dalam irama yang sederhana.

Aku lupa pada kemacetan. Lupa pada tujuan. Tersihir di bawah papan iklan. Tertenung mata-mata mungil.

“Apa bedanya dengan anak-anak yang lain?” ucapku setelah tersadar dari keheranan.

“Anak-anak lain hanya memiliki orang tua dan rumah. Kami disini memiliki negeri.” Anak yang bermata bening itu menjawab sambil tak menanggalkan senyuman. Aku teringat senyum orang-orang bijak.

“Negeri?” aku seperti berlari dari satu rasa heran ke rasa heran yang lainnya. Negeri apapula yang mereka maksud.

“Inilah negeri kami. Kami terlahir di lampu merah. Hidup di lampu merah. Inilah negeri kami!” jawabnya lantas melirik ke teman-temannya yang ternyata semakin mengepungku. Bukan mengepung tapi melingkar.

“Hidup negeri lampu merah!” teriak yang lain penuh semangat. Monyet yang berpakaian bak seorang jendral ikut berjingkrak-jingkrak, pistol-pistolah diarahkan kepadaku sambil melompat dan berguling.

Barangkali aku sedang bermimpi. Atau terik matahari telah melelehkan pikiranku menjadi sungai halusinasi. Namun kulihat matahari telah tergelincir ke barat dan kendaraan telah lalu lalang seperti biasa. Ada yang berhenti ketika lampu merah dan melaju ketika lampu hijau.

Aku tak beranjak kemanapun. Tetap di bawah papan iklan dan di dalam lingkaran.

“Sebenarnya kalian tinggal dimana?” sesungguhnya ingin aku bertanya tentang sekolah atau keluarga, namun kupikir itu akan menyinggung perasaan mereka.

“Di sinilah kami tinggal. Tepatnya disana!” telunjuk runcing dan mungil itu menunjuk perempatan, lalu dengan cepat menegaskannya dengan menunjuk tepat ke lampu merah yang sedang menyala. “Di sanalah kami tinggal. Tinggal dalam negeri sendiri.”

Dasar bocah. Imajinasi dan kenyataan dicampur aduk. Kubayangkan mereka tidur di trotoar atau pulang ke gubuk reyot. Atau di terminal atau di bawah jembatan layang. Mungkin sebagian mencari mesjid.

“Bagaimana kalau kalian kutraktir makan? pasti pada lapar, kan? Ayo kita cari warteg terdekat!” kukira bukan hal yang berlebihan. Aku baru saja mendapat uang komisi penjualan tanah. Lumayan. Cukuplah untuk mereka makan. Toh ini rejeki nomplok. Anakku pasti akan senang jika kuceritakan betapa dermawan ayahnya.

Lagi-lagi anak itu tersenyum. Anak-anak yang lainnya pelan beranjak dan bergerak kembali menjalani aktivitasnya di perempatan. Ajakanku nampak seperti usiran bagi mereka. Tinggal anak yang selalu tersenyum itu yang menemaniku.

“Kami terbiasa makan dari keringat kami sendiri, Bang. Hasil keringat itulah yang mengalirkan darah di tubuh kami.” Jawaban apapula ini. Membuatku merasa tercekik. Siapa yang mengajari mereka untuk begitu sombong.

“Ini serius! Ayo ajak teman-temanmu! Kalian seumuran dengan anakku.” aku mengeluarkan amplop dari saku kemejaku. Menyobeknya dan menunjukkan isinya pada anak itu.

“Simpan saja, Bang! Kami cukup dengan apa yang kami dapat! Uang banyak seperti itu malah membuat kami takut! Takut kami lupa pada diri sendiri. Lupa pada negeri kami.” Ia menjawab sambil mengelus-ngelus cobek batu yang hitam, keras dan berat. Memukul-mukulnya dengan jari. “Kami cukup dengan apa yang kami punya. Ceritakan saja tentang kami pada anak Abang. Itu akan membahagiakan kami.”

Aku seperti diingatkan tentang oleh-oleh yang belum kudapat. Ah, nantilah itu gampang, batinku. Negeri! Negeri! Kata yang diulang oleh anak itu lebih menyedot perhatianku. Sepertinya mereka mempunyai negeri sendiri yang berbeda dengan negeriku. Anak sekecil ini tahu apa tentang negeri. Anehnya aku jadi begitu betah di sini. Aku tak mau beranjak. Padahal adan magrib telah menggema. Dan lampu-lampu jalan mulai menyala. Kota segera gemerlap.

“Abang makanlah dulu! Kami selalu ada di sini. Tak pernah kemana-mana. Kami tahu abang masih penasaran. Percayalah kami tak pernah kemana-mana. Ini negeri kami. Ini rumah kami. Ini ranjang kami. Ini bumi kami. Salam buat anak abang.” anak itu melempar senyum lalu bergegas menuju teman-temannya. Pikulan itu nampak bergoyang. Riang sekali. Pikulan itu seperti pukulan buatku.

Ya. Ada banyak pikulan di perempatan, ada banyak pukulan di dadaku.

Malam. Dan aku tak beranjak. Anak-anak itu sepertinya semakin banyak. Seakan mereka bermunculan dari trotoar. Seakan mereka berjatuhan dari udara. Aku lupa pulang. Terperangkap di perempatan. Tiba-tiba saja aku seperti melihat wajah anakku pada setiap wajah mereka. Semuanya berwajah anakku. Mereka semuanya anakku.

Malam merangkak dan semakin gemerlap. Gaduh. Anak-anak semakin memadati perempatan. Suara mereka mengalahkan suara klakson dan knalpot. Suara mereka seperti suara kota. Semakin malam semakin lantang. Aku mendengar salak senapan. Senapan-senapan yang terarah ke langit. Langit yang benderang bintang. Bulan sabit runcing. Sebentar lagi dini hari.

Sebentar. Kendaraan mulai sepi. Dingin mulai menusuk.

Perempatan hanya dipenuhi anak-anak itu. Mereka melambai kepadaku. Semuanya. Seperti serempak. Ah, anak-anakku. Lampu merah menyala. Astaga. Seperti ada tangga yang turun dari lampu merah itu. Lalu anak-anak itu sigap menaiki tangga tersebut. Satu persatu mereka memasuki lampu merah. Semuanya. Hingga lenyap. Hingga lenyap semuanya. Lenyap lambaian itu. Mereka memasuki lampu merah. Ditelan lampu merah.

“Ini negeri kami. Ini rumah kami. Ini ranjang kami. Ini bumi kami.” Sebuah kalimat menyerbuku begitu lampu merah itu padam. Serupa pintu yang tertutup. Serupa selimut. Lalu kuning. Lalu hijau.

Aku berdiri. Limbung. Lambung mengaduh. Mencari jalan pulang sambil membawa pukulan yang terus tumbuh dalam dada. Betapa ada ribuan pikulan yang tiba-tiba memberati tubuhku. Sesekali lampu merah itu kulirik. Seperti berkedip. Kedip ribuan mata anak-anak. Mata anakku. Anakku.

 

Kedungpanjang 2012