Arung Jeram #2


Tunangan?

Sayup samar aku mendengar ibumu berkata kamu akan segera bertunangan dengan perempuan yang sebentar lagi kembali setelah menyelesaikan kuliah di luar negeri. Suara itu menjejali paksa lubang telingaku, tapi malah hatiku yang sakit. Kenapa sakit?

Aku tahu apa yang terjadi, sudah kuduga, sejak awal sudah ku bilang aku tidak pantas di sini. Langkah kakiku bergerak mundur, meninggalkan pesta itu.  bersama beberapa lembar air mata yang jatuh ke dekat belahan pipi ku. Belahan pipi ketika aku senyum dan pamit pulang dan tak kau cegah. Begitu pula dengan air mataku yang tak kau cegah jatuh.

….

Malam berjalan kian lambat, aku menyimpan mantelku di jok sebelahku.  Kepalaku menyandar pada jendela bus jurusan Jakarta yang mulai berkabut, di sentuh udara dini hari.   terlihat uap dari udara yang ku hembuskan meninggalkan noda-noda basah di sana.

Apakah duniaku runtuh kali ini?? satu persatu dinding yang mengokohkan langit ku berjatuhan.  Semuanya luluh lantah, hancur seperti ledakan bom atom Hirosima dan Nagasaki dari pesawat Enola Gay yang berpilotkan ibumu atau hantaman keras badai Tsunami. tidak ada sisa, aku merasakan semuanya hanya kehancuran.  Aku bahkan sudah lupa bentuk utuhnya seperti apa.

Kamu.  Kenapa tak pernah memberitahuku perihal itu sedari dulu. Apa kamu tak tau aku selalu mengharapkanmu? Aku memang tak pernah bilang tapi kukira kita sama-sama saling mengerti. Aku seperti baru kehilangan sesuatu dari hidupku secara tiba-tiba.  Seperti sebuah tanaman yang selama ini ditanam di hatiku, dan akarnya sudah tertancap begitu kuat.  Tapi malam ini tanaman tersebut dicabut secara paksa dan aku tidak bisa berbuat apa-apa.

Sebuah pesan masuk. “udah, nyampe rumah?” sebuah pesan darimu dengan tambahan ikon smiley yang bertampang cemas.

Aku mengabaikannya, dan meletakan ponsel itu di atas lipatan mantelku.  Namun tiba-tiba ponsel itu berdering karena sebuah panggilan masuk.  Tentu saja nomormu yang memanggil.

Tidak ingin semakin memperburuk suasana, aku mengangkatnya.

Aku tidak menjawab kali ini.  udara semakin sedikit rasanya di sekitarku. Mencoba mendengar, semua penjelasan darimu.

Aku sudah tidak sanggup.  Ponselku meluncur entah kemana.  Beberapa penumpang di sekitarku memperhatikan sekilas.  Bahkan salah seorangnya ada yang mengangsurkan tisu.  Namun aku menolaknya.

Aku menatap keluar, lampu-lampu kota yang mulai redup dan nampak malas menyala seakan tersenyum kepadaku.  Daun-daun pohon trembesi seperti berbisik, bahwa kisahku berakhir di sini.  Perjalanan bersamamu, ‘berteman’ selama bertahun-tahun harus memiliki akhir yang tragis begini.  Bahkan kami tidak sempat membicarakannya berdua bersama-sama.

Kernet menyebutkan terminal tempatku hendak turun.  Akupun berdiri, setelah menyeka pipiku yang basah aku berjalan mendekati pintu keluar.  Begitu bis berhenti akupun turun dan segera menuju lantai dingin terminal, kutuju bangku duduk plastik tak terrawat namun kuyakin bakal lebih nyaman kududuki ketimbang kursi tamu dirumahmu.

Bersambung

01:46 PM

 

Arung Jeram #1